Pendidikan kita sedang dihimpit dilema, antara mengutamakan pembentukan
karakter siswa atau memenuhi kepentingan tes. Di satu sisi, diharapkan
akan lahir anak-anak didik yang bukan hanya memiliki ilmu pengetahuan
tetapi juga memiliki karakter atau kepribadian yang baik. Tujuannya
agar lahir generasi yang berkembang dengan karakter berdasarkan
nilai-nilai luhur bangsa dan agama (UU Sisdiknas 2003; Suyanto, 2009).
Sedangkan di sisi lain, diharapkan semua siswa mampu menjawab soal tes,
terserah bagaimana caranya. Namun, para peneliti menemukan bahwa
pendidikan karakter tidak akan berhasil tanpa ada role model atau orang
yang patut diteladani. Pertanyaan, siapa yang layak dijadikan role
model untuk dijadikan contoh oleh para siswa sebagai hasil pendidikan
yang baik saat ini?
Setidaknya, guru-guru yang memenuhi syaratlah
yang menjadi role model utama bagi siswa (Lumpkin, 2008). Lebih-lebih,
mereka punya kesempatan untuk membentuk karakter siswa, misalnya,
dengan melaksanakan saling menghargai dan bertanggung jawab dalam proses
pembelajaran (Lickona, 1991). Namun, guru-guru saat ini pun dalam
kesehariannya harus berhadapan dengan pembelajaran mengejar kurikulum
dan berorientasi kepada tes siswa ketimbang pengembangan karakter siswa.
Hasilnya, pendidikan kebut hasil tes, yang dalam bahasa Aceh saya
gunakan istilah karattes atau kebut belajar untuk tes.
Pendidikan
yang lebih mengutamakan hasil tes akan cenderung mengabaikan
prosesnya. Sedangkan pendidikan karakter memerlukan pelibatan proses
pengembangan kognitif sekaligus sosial siswa. Lebih-lebih, pengetahuan
umumnya dikonstruksi bersama dengan cara berinteraksi dengan para siswa
lain dan atau guru. Pendidikan seperti ini akan membantu melahirkan
siswa yang menghargai pendapat orang lain meskipun amat berbeda dengan
pendapatnya, mampu bekerja dalam tim, dan mengutamakan kemampuan
pengambilan keputusan secara bersama-sama.
Karena belajar
sifatnya interaktif, bahasa merupakan alat yang sangat besar perannya.
Penggunaan bahasa-bahasa yang sifatnya mengajak, bahasa menghargai
pendapat orang lain, bahasa yang mengandung harapan kemajuan, dan
sejenisnya. Namun, yang dikuatirkan kalau ada guru atau dosen yang
karena merasa ilmunya hebat, dengan angkuh menggunakan bahasa-bahasa
yang sifatnya mengejek, menjatuhkan martabat, dan sejenisnya. Ini bisa
dikatakan sebagai oknum yang cacat karakter baik dalam berbahasa.
Padahal sebagian karakter manusia ditunjukkan lewat bahasa yang
digunakannya.
Bukan hanya itu, cacat dari segi karakter juga,
disengaja atau tidak,bisa juga terjadi dalam dunia pendidikan secara
hirarkis. Misalnya, kalau sekolah-sekolah dalam suatu kecamatan banyak
yang tidak lulus ujian nasional, maka para kepala sekolahnya akan
diberikan sanksi tertentu. Lantas para kepala sekolah pun bahasa-bahasa
ancaman kepada guru-gurunya. Mulailah para guru bergerilya
mempersiapkan siswa-siswanya dengan soal-soal ujian yang begitu banyak.
Dan ada juga yang membantu siswa menjawab soal ketika ujian. Inilah
yang terjadi bila pendidikan lebih mengutamakan pada hasil tes.
Dilihat
dari perspekstif pendidikan karakter, proses seperti itu malah
mendegradasi karakter guru dan menjadi pelajaran buruk bagi pembentukan
karakter siswa. Pada kasus memberikan kunci jawaban kepada
murid-muridnya, guru telah mengorbankan idealismenya demi hasil tes.
Kebenaran telah tergantikan dengan pembenaran (yang salah). Disadari
atau tidak, ini adalah praktek yang merusak nilai pendidikan dan
menghancurkan pilar-pilar pembentuk karakter siswa. Karakter kejujuran
menjadi terkorbankan demi hasil berbentuk angka-angka tinggi.
Bila
hal ini terpelihara dalam sistem pendidikan kita, para penyelenggara
pendidikan akan menjadi bagaikan robot. Sebagaimana lazimnya, robot
hanya menjalankan tugas-tugas yang sudah diprogramkan dalam mesinnya,
tanpa melibatkan unsur-unsur psikologis, tanpa mampu memikirkan
nilai-nilai kemanusiaan, perbedaan kepentingan manusia, atau potensi
yang berbeda yang dimiliki masing-masing siswa, dan lain-lain.
Adanya
pendidikan seperti ini kiranya tak terlepas dari faktor kultural dan
historis yang diterima secara pasif. Pendidikan yang hanya membentuk
anak untuk menerima saja secara pasif, tanpa mempertanyakan mengapa
demikian. Budaya seperti ini biasanya terjadi pada orang-orang yang
pernah dijajah, yang harus tunduk kepada pihak penjajah, agarnya
hegemoninya terus berlangsung. Budaya seperti ini kadangkala dibawa ke
dalam kelas belajar, apalagi kelas merupakan wilayah produksi dan
reproduksi budaya.
Budaya seperti ini pada saatnya akan
melahirkan masyarakat yang pasif. Lihatlah bagaimana rakyat terus
dirundung kemiskinan, tetapi tidak gencar mempertanyakan mengapa terus
miskin. Padahal kemiskinan tidak bisa hanya dilihat secara mikro (pada
orang miskin saja), tetapi penting melihat secara makro (pada institusi
negara dan bahkan agenda global). Bisa saja mencurigai kemiskinan tak
luput dari agenda politik global. Apalagi akan sangat terbuka
kesempatan menguasai dunia bila terdapat banyak orang miskin dan kurang
ilmu pengetahuan. Sebagaimana diketahui, kapitalis menguasai
sumber-sumber dunia lewat privatisasi dan liberalisasi. Hanya
sebahagian orang saja, terutama orang-orang yang terlibat dalam
negosiasi, yang beruntung, sedangkan rakyat jelata akan terus buntung.
Padahal
di sejumlah negara (seperti Arab Saudi) terbukti, nasionalisasi
perusahaan-perusahaan besar yang mengeruk kekayaan alam di negerinya
merupakan solusi mujarab untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, mengapa
ini tidak dijalankan dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia,
termasuk di Aceh? Mengapa pengentasan kemiskinan penduduk yang begitu
besar persentasenya hanya dijalankan dengan proyek cilet-cilet dan
dengan dana kecil? Dan, mengapa masyarakat banyak diam tidak
mempertanyakannya? Tidak tertutup kemungkinan keadaan masyarakat
seperti ini lahir dari rahim pendidikan pasif.
Dalam politik
lokal pun, banyaknya orang miskin dan kurang pengetahuan merupakan suatu
peluang. Dengan sedikit “pemberian” saja, banyak orang miskin akan
mengorbankan idealismenya untuk memilih orang-orang tertentu, meskipun
tidak punya kapasitas, dalam Pilkada, misalnya. Padahal memilih
orang-orang yang kurang mampu atau terlalu berorientasi bisnis bisa
menambah lama masa dan parah kemiskinan masyarakat, karena yang dipilih
lebih beriorientasi memperkaya diri ketimbang memakmurkan rakyatnya dan
merusak tatanan pemerintahan. Apalagi sudah lazim terjadi, orang yang
sudah banyak mengeluarkan modalnya, akan lebih mengutamakan upaya untuk
pengembalian modalnya berkali lipat.
* Penulis adalah mahasiswa PhD Pendidikan, Deakin University, Australia.
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/04/01/membangun-karakter-siswa
0 komentar:
Posting Komentar